Minggu, 24 Februari 2013

Apakah kehidupan abadi itu memang mungkin ?

Apakah
Kehidupan Abadi Itu Memang Mungkin?
”Guru, kebaikan apa yang harus kulakukan untuk memperoleh kehidupan abadi?”—MATIUS 19:16.

RAJA Xerxes I dari Persia, yang di dalam Alkitab dikenal sebagai Ahasyweros, sedang menginspeksi pasukannya sebelum maju bertempur pada tahun 480 SM. (Ester 1:1, 2) Menurut sejarawan Yunani, Herodotus, sang raja menitikkan air mata sewaktu ia memeriksa pasukannya. Mengapa? ”Saya merasa sedih,” kata Xerxes, ”bila merenungkan singkatnya masa hidup manusia. Karena dari semua pria ini, tidak seorang pun akan hidup seratus tahun lagi.” Barangkali, saudara pun telah memperhatikan bahwa kehidupan ini begitu singkat dan bahwa tidak seorang pun ingin menjadi tua, sakit, dan mati. Ah, seandainya saja kita dapat menikmati hidup ini dalam kebahagiaan dan kesehatan seperti layaknya seorang pemuda!—Ayub 14:1, 2.

2
Menarik, The New York Times Magazine edisi 28 September 1997 mengetengahkan artikel ”They Want to Live” (”Mereka Ingin Hidup”). Artikel itu mengutip pernyataan seorang peneliti yang berseru, ”Saya benar-benar percaya bahwa kita dapat menjadi generasi pertama yang hidup kekal!” Barangkali, saudara pun percaya bahwa kehidupan abadi itu mungkin. Saudara mungkin berpikir demikian karena Alkitab berjanji bahwa kita dapat hidup kekal di bumi ini. (Mazmur 37:29; Penyingkapan [Wahyu] 21:3, 4) Namun, beberapa orang percaya bahwa kehidupan abadi itu mungkin, karena alasan-alasan di luar Alkitab. Dengan membahas dua dari antara alasan-alasan tersebut, kita dapat dibantu untuk memahami bahwa kehidupan abadi itu memang mungkin.

Dirancang
untuk Hidup Kekal

3
Satu alasan mengapa banyak orang percaya bahwa manusia seharusnya dapat hidup kekal berkaitan dengan betapa luar biasanya cara kita dibuat. Sebagai contoh, cara kita dibentuk dalam rahim ibu kita benar-benar ajaib. Seorang ahli ternama dalam bidang penuaan menulis, ”Setelah melakukan mukjizat-mukjizat yang menghantar kita dari pembuahan hingga kelahiran dan berlanjut hingga kematangan seksual dan kedewasaan, alam memilih untuk tidak merancang semacam proses yang tampaknya lebih sederhana guna menghentikan proses penuaan, dan sehingga mukjizat-mukjizat tersebut dapat bertahan untuk selama-lamanya.” Ya, bila memperhatikan cara pembentukan kita yang menakjubkan, kita pasti bertanya-tanya: Mengapa kita harus mati?

4
Ribuan tahun yang lalu, penulis Alkitab bernama Daud merenungkan mukjizat-mukjizat tersebut, meskipun ia tidak dapat melihat ke dalam rahim secara harfiah sebagaimana para ilmuwan zaman sekarang. Daud merenungkan dalam-dalam pembentukan dirinya sendiri sewaktu menulis bahwa ia telah ’dinaungi dalam perut ibunya’. Ia mengatakan bahwa pada waktu itulah ’ginjalnya dibuat’. Ia juga menyebutkan pembentukan ’tulang-tulangnya’ ketika, sebagaimana yang ia amati, ”Aku dibuat di tempat yang tersembunyi.” Daud kemudian berbicara tentang ’ketika ia masih embrio’, dan sehubungan dengan embrio itu di dalam rahim ibunya, ia berkata, ”Semua bagiannya tertulis.”—Mazmur 139:13-16, NW.

5
Jelas, dalam rahim sang ibu tidak ada cetak biru harfiah yang memuat pembentukan Daud. Tetapi, sewaktu merenungkan pembuatan ”ginjal”, ”tulang-tulang”, dan bagian-bagian tubuh lainnya, Daud melihat seolah-olah semua hal ini berkembang secara terencana—bahwa segala sesuatunya seolah-olah telah ”tertulis”. Halnya seolah-olah sel yang terbuahi di dalam diri ibunya mempunyai sebuah ruangan besar penuh buku yang berisi instruksi terperinci tentang pembentukan seorang bayi dan instruksi yang rumit ini diteruskan ke setiap sel baru yang terbentuk. Itulah sebabnya, majalah Science World dengan gaya metafora mengatakan bahwa ’setiap sel dalam sebuah embrio yang sedang berkembang mempunyai satu lemari lengkap berisi cetak biru’.

6
Pernahkah terpikirkan oleh saudara cara kerja yang menakjubkan dari tubuh kita? Biolog Jared Diamond menyatakan, ”Kita mengganti sel-sel yang melapisi usus kita setiap beberapa hari, sel-sel yang melapisi kandung kemih diganti setiap dua bulan, dan sel-sel darah merah kita diganti setiap empat bulan.” Ia menyimpulkan, ”Alam memisah-misahkan diri kita dan menyatukan kembali diri kita setiap hari.” Apa arti sesungguhnya di balik semua itu? Itu berarti bahwa tidak soal sudah berapa tahun kita hidup—entah 8, 80, atau bahkan 800 tahun—tubuh jasmani kita selalu tetap muda. Seorang ilmuwan pernah memprakirakan, ”Dalam satu tahun, kira-kira 98 persen dari atom-atom dalam diri kita pada saat ini, akan digantikan oleh atom-atom lain yang kita ambil dari udara, makanan, dan minuman.” Sesungguhnya, seperti pujian Daud, kita ”dibuat secara menakjubkan”.—Mazmur 139:14, NW.

7
Berdasarkan rancangan tubuh jasmani kita, seorang pakar dalam bidang penuaan berkata, ”Sungguh tidak jelas mengapa penuaan harus terjadi.” Jelaslah, kita seharusnya hidup selama-lamanya. Dan, itulah sebabnya mengapa manusia berupaya mewujudkan hal ini melalui teknologi mereka. Belum lama ini, Dr. Alvin Silverstein menulis dengan yakin dalam bukunya Conquest of Death (Penaklukan Kematian), ”Kita akan menyingkapkan seluk-beluk kehidupan. Kita akan memahami . . . bagaimana seseorang mengalami penuaan.” Apa konsekuensinya? Ia meramalkan, ”Tidak akan ada lagi orang yang ’tua’, karena pengetahuan yang akan memungkinkan ditaklukkannya kematian juga akan memberikan keremajaan yang kekal.” Bila mempertimbangkan penyidikan ilmiah modern terhadap pembentukan manusia, apakah gagasan tentang kehidupan abadi terdengar sedemikian mustahil? Masih ada lagi alasan yang jauh lebih kuat untuk percaya bahwa kehidupan abadi itu mungkin.

Hasrat
untuk Hidup Kekal

8
Pernahkah saudara memperhatikan bahwa hidup kekal merupakan hasrat alami manusia? Seorang dokter menulis dalam sebuah jurnal Jerman, ”Dambaan akan kehidupan abadi mungkin sama tuanya dengan keberadaan umat manusia.” Ketika menguraikan kepercayaan beberapa orang Eropa zaman dahulu, The New Encyclopædia Britannica menyatakan, ”Orang-orang yang layak akan hidup selama-lamanya dalam suatu puri yang gemerlapan dan berlapiskan emas.” Dan, betapa besar upaya manusia untuk memuaskan hasrat dasar mereka akan kehidupan abadi!

9
The Encyclopedia Americana mengamati bahwa lebih dari 2.000 tahun yang lalu di Cina, ”para kaisar maupun rakyat [jelata], di bawah pimpinan pendeta-pendeta Tao, meninggalkan pekerjaan sehari-hari untuk mencari eliksir kehidupan”—yang konon disebut sumber air keremajaan. Bahkan, sepanjang sejarah, orang-orang percaya bahwa dengan makan berbagai ramuan, atau bahkan minum air tertentu, mereka akan awet muda.

10
Upaya-upaya di zaman modern untuk memuaskan hasrat bawaan manusia akan kehidupan abadi tidak kalah menakjubkannya. Salah satu contoh yang menonjol adalah praktek pembekuan manusia yang tidak berdaya menghadapi penyakit. Ini dilakukan dengan harapan untuk memulihkan kehidupan orang tersebut di masa mendatang apabila obat untuk penyakitnya telah dikembangkan. Seorang pendukung praktek yang dikenal sebagai kriogenik ini menulis, ”Bila optimisme kita terbukti benar dan bila kita telah berhasil mempelajari cara menyembuhkan serta memperbaiki segala kerusakan—termasuk kelemahan-kelemahan akibat usia lanjut—maka orang-orang yang sekarang ’mati’ akan memperoleh kehidupan yang diperpanjang hingga waktu tak terhingga di masa depan.”

11
Saudara mungkin bertanya, mengapa hasrat akan kehidupan abadi ini begitu terpatri dalam pikiran kita? Bukankah karena ”[Allah] telah menaruh kekekalan dalam pikiran manusia”? (Pengkhotbah 3:11, Revised Standard Version) Ini adalah perkara yang harus kita renungkan dengan sungguh-sungguh! Coba pikirkan: Mengapa kita memiliki hasrat bawaan akan kehidupan kekal—selama-lamanya—jika bukan karena Sang Pencipta memang bermaksud-tujuan agar hasrat ini terpuaskan? Dan, dapatkah dikatakan pengasih bila Dia menjadikan kita berhasrat untuk hidup kekal, namun kemudian membuat kita frustrasi dengan tidak pernah memungkinkan kita mewujudkan hasrat itu?—Mazmur 145:16.

Siapa
yang Seharusnya Kita Percayai?

12
Ke manakah, atau pada apakah, kita seharusnya menaruh kepercayaan untuk meraih kehidupan abadi? Pada teknologi manusia abad ke-20 atau barangkali abad ke-21? Artikel dalam The New York Times Magazine berjudul ”They Want to Live” (”Mereka Ingin Hidup”) berbicara tentang ”dewa: teknologi” dan tentang ”antusiasme terhadap potensi teknologi”. Seorang peneliti bahkan dilaporkan ”sangat yakin . . . bahwa tidak lama lagi teknik-teknik manipulasi genetika akan tersedia untuk menyelamatkan [kita] dengan cara menghentikan penuaan, mungkin membalikkan proses itu”. Akan tetapi, sebenarnya upaya-upaya manusia telah terbukti sama sekali tidak efektif dalam menghentikan penuaan maupun menaklukkan kematian.

13
Apakah ini berarti bahwa tidak ada jalan untuk meraih kehidupan abadi? Sama sekali tidak! Sebenarnya, ada satu jalan! Struktur otak kita yang menakjubkan, dengan kapasitasnya yang hampir tidak terbatas untuk belajar, seharusnya meyakinkan kita akan hal ini. Biolog molekuler James Watson menyebut otak kita sebagai ”benda paling kompleks yang pernah ditemukan di jagat raya kita ini”. Dan, neurolog Richard Restak berkata, ”Di jagat raya yang kita ketahui ini, tidak ada sesuatu yang sedikit pun menyerupai otak.” Untuk apa kita mempunyai otak yang sanggup menyimpan dan mencerna informasi yang hampir tidak terbatas serta tubuh yang dirancang untuk hidup selamanya kalau bukan dimaksudkan untuk menikmati kehidupan abadi?

14
Kalau begitu, apa satu-satunya kesimpulan yang masuk akal dan faktual yang harus kita ambil? Tidakkah saudara setuju bahwa kita dirancang dan diciptakan oleh Pencipta cerdas yang mahakuasa agar kita dapat hidup selama-lamanya? (Ayub 10:8; Mazmur 36:10; 100:3; Maleakhi 2:10; Kisah 17:24, 25) Oleh karena itu, bukankah kita seharusnya dengan bijaksana mengindahkan perintah terilham dari sang pemazmur Alkitab berikut ini, ”Janganlah percaya kepada para bangsawan, kepada anak manusia yang tidak dapat memberikan keselamatan”? Mengapa seharusnya kita tidak menaruh kepercayaan kepada manusia? Karena, seperti yang ditulis sang pemazmur, ”apabila nyawanya melayang, ia kembali ke tanah; pada hari itu juga lenyaplah maksud-maksudnya”. Sesungguhnya, meskipun berpotensi untuk hidup kekal, manusia tidak berdaya sewaktu menghadapi kematian. Sang pemazmur menyimpulkan, ”Berbahagialah orang . . . yang harapannya pada [Yehuwa], Allahnya.”—Mazmur 146:3-5.

Apakah
Ini Memang Maksud-Tujuan Allah?

15
Tetapi, saudara mungkin bertanya: Apakah Yehuwa memang bermaksud-tujuan agar kita menikmati kehidupan abadi? Jawabannya, ya! Puluhan kali Firman-Nya menjanjikan hal itu. ”Karunia yang Allah berikan adalah kehidupan abadi,” demikian Alkitab meyakinkan kita. Yohanes, seorang hamba Allah, menulis, ”Inilah hal yang dijanjikan yang [Allah] sendiri janjikan kepada kita, kehidupan abadi.” Tidak heran, seorang pemuda bertanya kepada Yesus, ”Guru, kebaikan apa yang harus kulakukan untuk memperoleh kehidupan abadi?” (Roma 6:23; 1 Yohanes 2:25; Matius 19:16) Bahkan, rasul Paulus menulis tentang ”harapan kehidupan abadi sebagaimana Allah, yang tidak dapat berdusta, telah janjikan sebelum zaman yang sangat lama”.—Titus 1:2.

16
Apa maksudnya bahwa Allah menjanjikan kehidupan abadi ”sebelum zaman yang sangat lama”? Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksudkan rasul Paulus adalah, bahwa sebelum pasangan manusia pertama, Adam dan Hawa, diciptakan, Allah bermaksud-tujuan agar manusia seharusnya hidup selama-lamanya. Akan tetapi, seandainya yang Paulus maksudkan adalah suatu masa setelah manusia diciptakan dan sewaktu Yehuwa menyatakan maksud-tujuan-Nya, halnya pun masih jelas bahwa kehidupan abadi bagi manusia juga tercakup dalam kehendak Allah.

17
Alkitab mengatakan bahwa di taman Eden, ’TUHAN Allah menumbuhkan dari bumi pohon kehidupan.’ Alasan dikeluarkannya Adam dari taman itu adalah agar ”jangan sampai ia mengulurkan tangannya dan mengambil pula dari buah pohon kehidupan itu dan memakannya, sehingga ia hidup”—ya, hidup selama-lamanya! Setelah mengusir Adam dan Hawa dari taman Eden, Yehuwa menempatkan ”beberapa kerub dengan pedang yang bernyala-nyala dan menyambar-nyambar, untuk menjaga jalan ke pohon kehidupan”.—Kejadian 2:9; 3:22-24.

18
Seandainya Adam dan Hawa diperbolehkan makan buah dari pohon kehidupan tersebut, apa yang akan terjadi atas mereka? Tentu saja, hak istimewa untuk hidup kekal di Firdaus! Salah seorang sarjana Alkitab berasumsi, ”Pohon kehidupan pasti memiliki suatu khasiat khusus yang memungkinkan tubuh manusia bebas dari kelemahan-kelemahan akibat usia lanjut, atau dari kemerosotan yang berakhir dalam kematian.” Ia bahkan menyatakan bahwa ”terdapat suatu ramuan berkhasiat dalam firdaus yang memungkinkan manusia melawan dampak-dampak” penuaan. Akan tetapi, Alkitab tidak mengatakan bahwa pohon kehidupan itu sendiri berkhasiat memberikan kehidupan. Sebaliknya, pohon itu hanya menggambarkan jaminan Allah untuk kehidupan abadi bagi barangsiapa yang diizinkan memakan buahnya.—Penyingkapan 2:7.

Maksud-Tujuan
Allah Tidak Berubah

19
Sewaktu Adam berdosa, ia kehilangan hak kehidupan abadi bagi dirinya sendiri dan bagi semua bakal keturunannya. (Kejadian 2:17) Sewaktu ia menjadi seorang pedosa karena ketidaktaatannya, ia menjadi bercela dan tidak sempurna. Sejak saat itu, tubuh Adam seolah-olah terprogram untuk mati, seperti yang Alkitab katakan, ”upah yang dibayar oleh dosa adalah kematian”. (Roma 6:23) Selain itu, keturunan Adam yang tidak sempurna juga menjadi terprogram untuk mati, bukan untuk hidup kekal. Alkitab menjelaskan, ”Melalui satu orang [Adam] dosa masuk ke dalam dunia dan kematian melalui dosa, dan demikianlah kematian menyebar kepada semua orang karena mereka semua telah melakukan dosa.”—Roma 5:12.

20
Tetapi, bagaimana seandainya Adam tidak berdosa? Bagaimana seandainya ia menaati Allah dan diperkenankan memakan buah dari pohon kehidupan? Di mana ia akan menikmati karunia kehidupan abadi dari Allah? Di surga? Tidak! Allah tidak mengatakan apa pun perihal Adam dibawa ke surga. Tugas kerjanya adalah di bumi ini. Alkitab menjelaskan bahwa ”TUHAN Allah menumbuhkan berbagai-bagai pohon dari bumi, yang menarik dan yang baik untuk dimakan buahnya”, dan Alkitab mengatakan, ”TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.” (Kejadian 2:9, 15) Setelah Hawa diciptakan sebagai pasangan bagi Adam, keduanya diberi tugas kerja tambahan di bumi ini. Allah memberi tahu mereka, ”Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.”—Kejadian 1:28.

21
Bayangkan prospek menakjubkan yang Allah ulurkan kepada Adam dan Hawa di bumi melalui instruksi tersebut! Mereka akan dapat mengasuh putra-putri yang sehat-sempurna dalam Firdaus di bumi. Seraya anak-anak yang mereka kasihi bertumbuh dewasa, anak-anak ini juga akan beranak-cucu dan ikut melakukan pekerjaan yang menyenangkan untuk memelihara taman Firdaus itu. Karena semua binatang tunduk kepada mereka, umat manusia akan sangat puas. Bayangkan sukacita yang dirasakan sewaktu meluaskan batas-batas taman Eden sehingga seluruh bumi akhirnya menjadi suatu firdaus! Inginkah saudara menikmati kehidupan bersama anak-anak yang sempurna dalam tempat tinggal yang sedemikian indah di bumi, tanpa khawatir menjadi tua dan mati? Biarkan desakan hati saudara menjawab pertanyaan itu.

22
Kalau begitu, sewaktu Adam dan Hawa tidak taat dan dikeluarkan dari taman Eden, apakah Allah mengubah maksud-tujuan-Nya bagi umat manusia untuk hidup kekal dalam Firdaus di bumi? Sama sekali tidak! Seandainya Allah berbuat demikian, itu berarti Ia mengaku kalah sehubungan dengan kesanggupan-Nya melaksanakan maksud-tujuan-Nya yang semula. Kita dapat yakin bahwa Allah melaksanakan apa yang Ia janjikan, sebagaimana Ia sendiri nyatakan, ”Demikianlah firman-Ku yang keluar dari mulut-Ku: ia tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia, tetapi ia akan melaksanakan apa yang Kukehendaki, dan akan berhasil dalam apa yang Kusuruhkan kepadanya.”—Yesaya 55:11.

23
Bahwa maksud-tujuan Allah bagi bumi tidak berubah diperjelas dalam Alkitab, yang memuat janji Allah ini, ”Orang-orang benar akan mewarisi negeri [”bumi”, NW] dan tinggal di sana senantiasa.” Bahkan, Yesus Kristus mengatakan dalam Khotbahnya di Gunung bahwa orang-orang yang berwatak lembut akan mewarisi bumi. (Mazmur 37:29; Matius 5:5) Namun, bagaimana kita dapat memperoleh kehidupan abadi, dan apa yang harus kita lakukan untuk menikmati kehidupan demikian? Ini akan dibahas dalam artikel berikut.
Apa
Jawaban Saudara?

Mengapa banyak orang percaya bahwa kehidupan abadi memang mungkin?

Apa yang seharusnya meyakinkan kita bahwa kita dimaksudkan untuk hidup kekal?

Apa maksud-tujuan Allah yang semula bagi umat manusia dan bumi?

Mengapa kita dapat yakin bahwa Allah akan memenuhi maksud-tujuan-Nya yang semula?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar