Minggu, 24 Februari 2013

Mencari Gen "kekekalan "

Mencari
Gen ”Kekekalan”

BANYAK peradaban mempunyai dongeng atau fabel yang berupaya menjelaskan mengapa manusia mati. Di Afrika, misalnya, salah satu legenda mengisahkan bahwa Allah mengutus seekor bunglon untuk membawakan kekekalan bagi manusia, tetapi ia berjalan begitu lambat sehingga kadal lain, yang membawakan berita kematian, tiba lebih dahulu. Manusia yang naif itu telanjur menerima berita sang kadal sehingga ia tidak jadi menerima kekekalan.

Selama berabad-abad, para filsuf berupaya menjawab pertanyaan: Mengapa manusia mati? Pada abad keempat SM, filsuf Yunani Aristoteles mengajarkan bahwa kelangsungan hidup manusia bergantung pada kesanggupan tubuh untuk menyeimbangkan antara panas dan dingin. Ia mengatakan, ”Kematian selalu disebabkan oleh kekurangan panas.” Di pihak lain, Plato mengajarkan bahwa manusia mempunyai jiwa yang tak berkematian yang tetap hidup setelah tubuh mati.

Dewasa ini, meskipun sains modern telah menghasilkan kemajuan yang luar biasa, pertanyaan-pertanyaan para biolog tentang mengapa kita mengalami penuaan dan mati pada dasarnya masih belum terjawab. Menurut The Guardian Weekly London, ”Salah satu misteri terbesar pada ilmu kedokteran bukanlah mengapa manusia mati karena penyakit jantung atau kanker, melainkan mengapa mereka mati sekalipun tidak mengalami gangguan kesehatan sama sekali. Jika sel manusia membelah diri, dan terus memperbarui diri sekitar 70 tahun lamanya, mengapa proses itu tiba-tiba berhenti?”

Untuk memahami proses penuaan, para pakar genetika dan biologi molekuler memusatkan perhatian pada sel. Banyak ilmuwan merasa bahwa di dalam unit-unit mikroskopis ini, kunci untuk panjang umur dapat ditemukan. Misalnya, beberapa orang meramalkan bahwa rekayasa genetika akan memungkinkan para ilmuwan menaklukkan kanker dan penyakit jantung. Tetapi, seberapa besarkah kemungkinannya sains berhasil memenuhi dambaan manusia untuk hidup selama-lamanya?

Menguak
Rahasia Sel

Generasi-generasi ilmuwan terdahulu berupaya menguak rahasia sel, tetapi mereka kekurangan sarana. Baru pada abad terakhir ini para ilmuwan sanggup mencermati sel dan mengamati banyak komponen dasarnya. Apa yang mereka temukan? ”Sel,” kata penulis sains Rick Gore, ”ternyata adalah alam semesta mini.”

Untuk dapat memahami betapa rumitnya sebuah sel itu, bayangkan bahwa tiap-tiap sel terdiri dari triliunan unit yang lebih kecil, yang disebut molekul. Namun, sewaktu para ilmuwan mengamati struktur sebuah sel, mereka mendapati keteraturan yang luar biasa dan bukti adanya rancangan. Philip Hanawalt, lektor bidang genetika dan biologi molekuler di Universitas Standford mengatakan, ”Pertumbuhan normal dari sel hidup yang paling sederhana sekalipun membutuhkan adanya puluhan ribu reaksi kimia secara terkoordinasi.” Ia juga menyatakan, ”Pencapaian terprogram oleh pabrik kimia yang mungil ini melebihi kesanggupan ilmuwan di laboratoriumnya.”

Bayangkan, betapa besarnya tugas untuk memperpanjang jangka hidup manusia melalui sarana biologis. Dibutuhkan bukan hanya pemahaman yang dalam tentang unit-unit penunjang kehidupan melainkan juga kesanggupan untuk memanipulasi unit-unit penunjang itu! Mari kita tengok sejenak sel manusia untuk mengilustrasikan tantangan yang dihadapi para biolog.

Semuanya
Ada pada Gen

Di dalam tiap-tiap sel, terdapat pusat pengendali yang rumit yang disebut nukleus (inti sel). Nukleus mengarahkan kegiatan sel dengan mengikuti serangkaian petunjuk yang terkodifikasi. Petunjuk-petunjuk ini disimpan dalam kromosom.

Kromosom kita pada dasarnya terdiri dari protein dan asam deoksiribonukleat, yang disingkat DNA. Meskipun para ilmuwan telah mengetahui tentang DNA sejak akhir dekade 1860-an, pada tahun 1953 barulah struktur molekulernya dapat dipahami. Meskipun demikian, dibutuhkan waktu hampir satu dekade sebelum para biolog mulai memahami ”bahasa” yang dipakai molekul DNA untuk membawa informasi genetis.—Lihat kotak, halaman 22.

Pada tahun 1930-an, para pakar genetika mendapati bahwa pada ujung tiap-tiap kromosom terdapat urutan pendek DNA yang turut menstabilkan kromosom. Urutan ini dinamai telomer, dari bahasa Yunani te

los (ujung) dan meros (bagian), dan bagian-bagian kecil DNA ini bertindak seperti bungkus pelindung pada ujung-ujung tali sepatu. Tanpa telomer, kromosom kita akan cenderung berantakan dan terpecah-pecah menjadi segmen-segmen pendek, saling menempel, atau menjadi tidak stabil.

Akan tetapi, para peneliti belakangan mengamati bahwa pada sebagian besar jenis sel, telomer menjadi lebih pendek setiap kali sel membelah diri secara berturut-turut. Dengan demikian, setelah sekitar 50 kali pembelahan, telomer-telomer pada sel menyusut menjadi gumpalan-gumpalan kecil, lalu sel berhenti membelah dan akhirnya mati. Pengamatan bahwa sel tampaknya sanggup membelah diri hanya sebatas beberapa kali sebelum mati dilaporkan untuk pertama kalinya pada tahun 1960-an oleh Dr. Leonard Hayflick. Oleh karena itu, fenomena ini sekarang dirujuk oleh banyak ilmuwan sebagai batas Hayflick.

Apakah Dr. Hayflick berhasil menemukan penyebab dasar penuaan pada sel? Ada yang berpikir demikian. Pada tahun 1975, Nature/Science Annual mengatakan bahwa para cendekiawan di bidang penuaan yakin bahwa ”dalam diri semua makhluk hidup terdapat mekanisme yang waktunya sudah tersetel tepat untuk menghancurkan diri sendiri, semacam jam penuaan yang secara bertahap mengikis vitalitas”. Sebenarnya, harapan mulai tumbuh sewaktu para ilmuwan akhirnya mulai memusatkan perhatian pada proses penuaan itu sendiri.

Pada tahun 1990-an, para peneliti yang mempelajari sel kanker pada manusia menemukan petunjuk penting lainnya sehubungan dengan ”jam sel” ini. Mereka mendapati bahwa sel-sel yang ganas entah bagaimana belajar caranya untuk melindas ”jam sel” mereka dan terus membelah diri secara tak beraturan. Penemuan ini menuntun para biolog kembali ke enzim yang sangat luar biasa, yang pertama kali ditemukan pada tahun 1980-an dan belakangan didapati pada sebagian besar jenis sel kanker. Enzim itu disebut telomerase. Apa fungsinya? Singkatnya, telomerase dapat diumpamakan dengan kunci yang menyetel ulang sebuah ”jam” sel dengan memperpanjang telomer-nya.

Akhir
Penuaan?

Riset telomerase akan segera menjadi salah satu bidang favorit dalam bidang biologi molekuler. Implikasinya adalah bahwa jika para biolog dapat menggunakan telomerase untuk melawan proses penyusutan telomer sewaktu sel-sel normal membelah diri, mungkin penuaan dapat dicegah atau setidaknya ditunda. Menarik sekali, Geron Corporation News melaporkan bahwa para peneliti yang bereksperimen dengan telomerase di laboratorium telah mempertunjukkan bahwa sel-sel normal manusia dapat direkayasa sehingga memiliki ”kesanggupan membelah diri tanpa batas”.

Meskipun terdapat kemajuan itu, tidak ada cukup alasan untuk berharap bahwa dalam waktu dekat ini, para biolog akan dapat memperpanjang jangka hidup kita dengan telomerase. Mengapa tidak? Salah satu alasannya adalah bahwa proses penuaan melibatkan jauh lebih banyak hal daripada sekadar menyusutnya telomer. Misalnya, perhatikan komentar Dr. Michael Fossel, penulis buku Reversing Human Aging, ”Jika kita menaklukkan penuaan sebagaimana yang kita ketahui sekarang ini, kita masih akan mengalami penuaan dengan cara yang tidak kita ketahui sekarang atau yang masih asing bagi kita. Jika kita memperpanjang telomer kita tanpa batas, kita mungkin tidak akan mengidap penyakit yang sekarang dikaitkan dengan usia tua, tetapi kita akhirnya tetap akan melemah dan mati.”

Memang, tampaknya ada sejumlah faktor biologis yang turut menyebabkan proses penuaan. Namun, para ilmuwan saat ini masih belum mampu menguak jawabannya. Leonard Guarente dari Massachusetts Institute of Technology mengatakan, ”Sekarang ini, penuaan masih merupakan misteri.”—Scientific American, Fall 1999.

Meskipun para biolog dan pakar genetika terus meneliti sel untuk memahami mengapa manusia mengalami penuaan dan mati, Firman Allah menyingkapkan alasan yang sesungguhnya. Katanya dengan sederhana, ”Melalui satu orang dan kematian, melalui dosa, demikianlah kematian menyebar kepada semua orang karena mereka semua telah berbuat dosa.” (Roma 5:12) Ya, kematian manusia merupakan akibat dari suatu kondisi yang tidak akan pernah bisa diobati oleh sains—dosa warisan.—1 Korintus 15:22.

Di pihak lain, Pencipta kita berjanji untuk membatalkan pengaruh dosa warisan melalui korban tebusan Kristus. (Roma 6:23) Kita dapat yakin bahwa Pencipta kita tahu caranya membalikkan penuaan dan kematian, karena Mazmur 139:16 mengatakan, ”Matamu melihat bahkan ketika aku masih embrio, dan semua bagiannya tertulis dalam bukumu.” Untuk memastikannya, Allah Yehuwa menciptakan kode genetika dan seolah-olah menuangkannya dalam tulisan. Oleh karena itu, pada waktunya, Allah akan memastikan agar gen-gen kita memungkinkan kehidupan abadi bagi orang-orang yang menaati tuntutan-tuntutan-Nya.—Mazmur 37:29; Penyingkapan 21:3, 4.
[Catatan
Kaki]
Untuk keterangan terperinci tentang DNA, lihat Sedarlah!, 8 September 1999, halaman 5-10.

[Kotak
di hlm. 22]

”BAHASA”
DNA



Unit-unit dasar, atau ”huruf”, bahasa DNA adalah komponen-komponen kimiawi yang disebut basa. Ada empat jenis basa: timin, adenin, guanin, dan sitosin, yang biasanya disingkat T, A, G, dan C. ”Bayangkan keempat basa itu sebagai huruf dalam sebuah abjad empat-huruf,” kata majalah National Geographic. ”Seperti kita menata huruf abjad kita menjadi kata-kata yang bermakna, maka A, T, G, dan C yang membentuk gen kita diatur menjadi ’kata-kata’ tiga huruf yang dapat dipahami oleh mekanisme sel.” Selanjutnya, ”kata-kata” genetika membentuk ”kalimat” yang memberi tahu sel caranya membangun suatu protein tertentu. Urutan jalinan huruf-huruf DNA menentukan apakah protein itu akan berfungsi sebagai enzim yang turut membantu Anda mencerna makanan, antibodi yang menghalau infeksi, atau salah satu dari ribuan protein yang terdapat dalam tubuh kita. Tak mengherankan bila buku The Cell menyebut DNA sebagai ”cetak biru dasar kehidupan”.

[Gambar
di hlm. 21]

Ujung-ujung kromosom (yang tampak berkilap) memungkinkan sel untuk terus-menerus membelah diri

[Keterangan]

Courtesy of Geron Corporation

Tidak ada komentar:

Posting Komentar