Rabu, 27 Februari 2013

Jiwa

JIWA



Kata-kata bahasa aslinya (Ibr., ne

fes [נֶפֶשׁ]; Yn., psy·khe [ψυχή]), sebagaimana digunakan dalam Tulisan-Tulisan Kudus, memperlihatkan bahwa ”jiwa” adalah seseorang, seekor binatang, atau kehidupan yang dinikmati seseorang atau seekor binatang.

Sehubungan dengan konotasi kata Inggris ”soul” (Ind., ”jiwa”), kebanyakan orang memiliki konsep yang tidak selaras dengan makna kata Ibrani dan kata Yunani yang digunakan oleh para penulis Alkitab yang terilham. Hal ini semakin diakui secara luas. Lama berselang, pada tahun 1897, dalam Journal of Biblical Literature (Jil. XVI, hlm. 30), Profesor C. A. Briggs, sebagai hasil sebuah analisis yang terperinci tentang penggunaan ne

fes, mengatakan, ”Sekarang ini, penggunaan kata jiwa dalam bahasa Inggris biasanya mengandung makna yang sangat berbeda dengan נפש [nefes] dalam bahasa Ibrani, dan pembaca yang tidak teliti cenderung menyalahartikannya.”


Belakangan, ketika The Jewish Publication Society of America menerbitkan terjemahan baru Taurat, atau kelima buku pertama Alkitab, pemimpin redaksi, H. M. Orlinsky dari Hebrew Union College, menyatakan bahwa kata ”jiwa” nyaris dihapus sama sekali dari terjemahan ini karena, ”kata Ibrani yang dipertanyakan di sini adalah ’Nefes’”. Ia menambahkan, ”Terjemahan-terjemahan lain telah menafsirkan bahwa kata itu berarti ’jiwa’, yang sama sekali tidak akurat. Alkitab tidak mengatakan kita memiliki jiwa. ’Nefes’ adalah orang itu sendiri, kebutuhannya akan makanan, darah dalam pembuluh-pembuluhnya, keberadaannya.”—The New York Times, 12 Oktober 1962.

Dari

mana asal mula ajaran bahwa jiwa manusia tidak kelihatan dan tidak berkematian?

Kesulitannya terletak pada fakta bahwa arti-arti yang umumnya diterapkan pada kata Indonesia ”jiwa” (Ing., ”soul”) pada mulanya tidak berasal dari Kitab-Kitab Ibrani ataupun Kitab-Kitab Yunani Kristen tetapi dari filsafat Yunani kuno, yang sesungguhnya adalah pemikiran agama kafir. Sebagai contoh, filsuf Yunani bernama Plato mengutip kata-kata Sokrates yang bunyinya, ”Jiwa, . . . apabila ia pergi dengan murni, tidak membawa serta apa-apa dari tubuh, . . . akan pergi menuju keadaan seperti dirinya, kepada yang tidak kelihatan, ilahi, tidak berkematian, dan bijaksana, dan sewaktu ia tiba di sana ia merasa bahagia, bebas dari kesalahan dan kebodohan dan rasa takut . . . dan semua keburukan lain manusia, dan . . . hidup dalam kebenaran untuk selama-lamanya bersama para dewa.”—Phaedo, 80, D, E; 81, A.

Bertolak belakang dengan ajaran Yunani bahwa psy·khe

(jiwa) bersifat nonmateri, tidak nyata, tidak kelihatan, dan tidak berkematian, Tulisan-Tulisan Kudus memperlihatkan bahwa baik psy·khe maupun nefes, sebagaimana digunakan sehubungan dengan makhluk-makhluk di bumi, menunjuk kepada sesuatu yang bersifat materi, nyata, kelihatan, dan berkematian.

New
Catholic Encyclopedia mengatakan, ”Nepes [ne

fes] adalah istilah yang cakupan maknanya lebih luas daripada ’jiwa’ kita, karena memaksudkan kehidupan (Kel 21.23; Ul 19.21) dan beragam manifestasinya yang penting: napas (Kej 35.18; Ayb 41.13[21]), darah [Kej 9.4; Ul 12.23; Mz 140(141).8], keinginan atau hasrat (2 Sam 3.21; Ams 23.2). Jiwa dalam P[erjanjian] L[ama] bukan merupakan bagian yang terpisah dari manusia, melainkan manusia itu seutuhnya—manusia sebagai makhluk hidup. Demikian pula, dalam P[erjanjian] B[aru] jiwa memaksudkan kehidupan manusia: kehidupan seseorang, subjek yang sadar (Mat 2.20; 6.25; Luk 12.22-23; 14.26; Yoh 10.11, 15, 17; 13.37).”—1967, Jil. XIII, hlm. 467.

Terjemahan Katolik Roma, The New American Bible, dalam ”Glossary of Biblical Theology Terms”-nya (hlm. 27, 28), mengatakan, ”Dalam Perjanjian Baru, ’menyelamatkan jiwa seseorang’ (Mrk 8:35) tidak berarti menyelamatkan suatu bagian yang ’rohani’ dari manusia, yang berbeda dengan ’tubuh’-nya (menurut Platonisme) tetapi orang itu seutuhnya dengan penandasan atas fakta bahwa selain berwujud konkret dan fisik, orang itu hidup, mempunyai keinginan, mencintai, serta memiliki kesediaan, dll.”—Edisi yang diterbitkan oleh P. J. Kenedy & Sons, New York, 1970.

Ne

fes
jelas berasal dari kata dasar yang artinya ”bernapas” dan secara harfiah nefes dapat diterjemahkan menjadi ”sesuatu yang bernapas”. Lexicon in Veteris Testamenti Libros karya Koehler dan Baumgartner (Leiden, 1958, hlm. 627) mendefinisikannya sebagai berikut: ”materi napas, yang membuat manusia d[an] binatang menjadi makhluk hidup Kej 1, 20, jiwa (yang jelas berbeda dengan konsep yunani mengenai jiwa) yang intinya adalah darah Kej 9, 4, berikutnya Im 17, 11 Ul 12, 23: (249 X) . . . jiwa = makhluk hidup, individu, orang”.

Mengenai kata Yunani psy·khe

, leksikon-leksikon Yunani-Inggris memberikan beberapa definisi seperti ”kehidupan”, dan ”pribadi yang sadar sebagai pusat emosi, hasrat, dan kasih-sayang”, ”makhluk hidup”, dan semua ini memperlihatkan bahwa bahkan dalam karya-karya tulis Yunani non-Alkitab istilah itu digunakan ”untuk binatang”. Tentu saja, sumber-sumber tersebut, yang terutama membahas karya-karya tulis Yunani klasik, mencantumkan semua arti yang diterapkan para filsuf kafir Yunani pada kata itu, termasuk ”roh yang keluar”, ”jiwa yang nonmateri dan tidak berkematian”, ”roh alam semesta”, dan ”prinsip pergerakan dan kehidupan yang nonmateri”. Ternyata, karena sejumlah filsuf kafir mengajarkan bahwa jiwa keluar dari tubuh pada waktu mati, kata psy·khe juga digunakan untuk ”kupu-kupu atau ngengat”, yaitu makhluk yang mengalami metamorfosis, berubah dari ulat menjadi makhluk bersayap.—Greek-English Lexicon karya Liddell dan Scott, direvisi oleh H. Jones, 1968, hlm. 2026, 2027; New Greek and English Lexicon karya Donnegan, 1836, hlm. 1404.

Para penulis Yunani kuno menggunakan psy·khe

untuk berbagai hal dan tidak konsisten, karena filsafat pribadi dan keagamaan mereka mempengaruhi penggunaan kata tersebut. Mengenai Plato, yang filsafatnya mempengaruhi gagasan umum tentang ”jiwa” (sebagaimana pada umumnya diakui), dinyatakan, ”Ia kadang-kadang berbicara tentang salah satu dari tiga bagian jiwa [yang katanya ada], yaitu bagian yang ’masuk akal’, sebagai sesuatu yang harus bersifat tidak berkematian, sedangkan yang dua bagian lagi berkematian, ia juga menyatakan seolah-olah ada dua jiwa dalam satu tubuh, satu tidak berkematian dan ilahi, yang lainnya berkematian.”—The Evangelical Quarterly, London, 1931, Jil. III, hlm. 121, ”Thoughts on the Tripartite Theory of Human Nature”, karya A. McCaig.

Mengingat ketidakkonsistenan demikian dalam karya-karya tulis non-Alkitab, kita perlu membiarkan ayat-ayat dalam Tulisan-Tulisan Kudus sendiri yang saling menjelaskan, untuk memperlihatkan apa yang dimaksudkan oleh para penulis yang terilham sewaktu mereka menggunakan kata psy·khe

, dan juga nefes. Nefes muncul 754 kali dalam Kitab-Kitab Ibrani teks Masoret, sedangkan psy·khe saja muncul 102 kali dalam Kitab-Kitab Yunani Kristen teks Westcott dan Hort, sehingga jumlah total pemunculannya sebanyak 856 kali. (Lihat Rbi8, Apendiks 4A.) Frekuensi pemunculan ini memungkinkan adanya konsep yang jelas tentang makna kata-kata ini dalam benak para penulis Alkitab yang terilham, demikian juga makna yang hendak disampaikan tulisan mereka kepada pikiran kita. Sekalipun makna kata-kata ini luas, dan memiliki beragam nuansa arti, sebuah penelitian menunjukkan bahwa di antara para penulis Alkitab tidak ada ketidakkonsistenan, kebingungan, ataupun ketidakselarasan tentang kodrat manusia, sebagaimana terdapat di kalangan para filsuf Yunani yang disebut filsuf era Yunani-Romawi.

Jiwa-Jiwa
Pertama di Bumi. Pemunculan pertama ne

fes terdapat di Kejadian 1:20-23. Pada ”hari” kelima penciptaan, Allah berfirman, ”’Biarlah dalam air berkeriapan sekelompok jiwa [nefes] yang hidup dan biarlah makhluk-makhluk terbang beterbangan di atas bumi . . . ’ Kemudian Allah menciptakan makhluk-makhluk laut yang luar biasa besar dan segala jiwa [nefes] yang hidup dan bergerak, yang berkeriapan dalam air menurut jenisnya, dan segala makhluk terbang yang bersayap menurut jenisnya.” Demikian pula pada ”hari” keenam penciptaan, nefes digunakan untuk ”binatang peliharaan dan binatang merayap dan binatang liar di bumi” yang disebut ”jiwa-jiwa yang hidup”.—Kej 1:24.

Setelah manusia diciptakan, kata ne

fes juga digunakan dalam instruksi Allah kepadanya sehubungan dengan binatang, yaitu ”setiap binatang yang merayap di bumi, yang memiliki kehidupan sebagai suatu jiwa [harfiah, yang di dalamnya terdapat jiwa yang hidup (nefes)]”. (Kej 1:30) Ayat-ayat lain yang menyebutkan binatang sebagai jiwa adalah Kejadian 2:19; 9:10-16; Imamat 11:10, 46; 24:18; Bilangan 31:28; Yehezkiel 47:9. Patut disimak bahwa Kitab-Kitab Yunani Kristen juga menggunakan kata Yunani psy·khe untuk binatang, seperti di Penyingkapan 8:9; 16:3, yaitu untuk makhluk-makhluk yang ada di laut.

Jadi, Alkitab dengan jelas memperlihatkan bahwa ne

fes dan psy·khe digunakan untuk memaksudkan ciptaan berupa binatang yang lebih rendah daripada manusia. Istilah yang sama berlaku untuk manusia.

Jiwa
Manusia. Ungkapan Ibrani yang persis sama seperti yang digunakan untuk binatang, yakni ne

fes khai·yah (jiwa yang hidup), digunakan untuk Adam, ketika disebutkan bahwa, setelah Allah membentuk manusia dari debu tanah dan mengembuskan napas ke dalam lubang hidungnya, ”manusia itu menjadi jiwa yang hidup”. (Kej 2:7) Manusia berbeda dengan binatang bukan karena fakta bahwa manusia adalah nefes (jiwa) dan binatang bukan, tetapi karena, menurut catatan, hanya manusia yang diciptakan ”menurut gambar Allah”. (Kej 1:26, 27) Ia diciptakan dengan sifat-sifat moral seperti yang dimiliki Allah, dengan kuasa dan hikmat yang jauh lebih unggul daripada binatang; karena itu, ia dapat menundukkan semua makhluk hidup yang lebih rendah. (Kej 1:26, 28) Tubuh manusia lebih rumit, dan juga lebih serbabisa, daripada tubuh binatang. (Bdk. 1Kor 15:39.) Lagi pula, Adam memiliki, tetapi kemudian kehilangan, prospek kehidupan kekal; hal ini tidak pernah dinyatakan sehubungan dengan makhluk yang lebih rendah daripada manusia.—Kej 2:15-17; 3:22-24.

Memang benar, dikatakan bahwa ’Allah mengembuskan ke dalam lubang hidung manusia napas [bentuk dari nesya·mah

] kehidupan’, sedangkan dalam catatan tentang penciptaan binatang hal ini tidak disebutkan. Namun, jelas bahwa kisah penciptaan manusia jauh lebih terperinci daripada kisah penciptaan binatang. Selain itu, sewaktu menggambarkan pembinasaan ”semua makhluk” di luar bahtera dengan Air Bah, Kejadian 7:21-23 menyebutkan binatang bersama manusia dan mengatakan, ”Matilah segala yang memiliki napas [suatu bentuk kata nesya·mah] dan daya kehidupan yang aktif di lubang hidungnya, yakni semua yang ada di tanah yang kering.” Jelaslah, napas kehidupan pada binatang juga berasal dari sang Pencipta, Allah Yehuwa.

Demikian pula, ”roh” (Ibr., ru

akh; Yn., pneuma), atau daya kehidupan, yang dimiliki manusia tidak berbeda dengan yang dimiliki binatang, sebagaimana diperlihatkan oleh Pengkhotbah 3:19-21, yang menyatakan bahwa ”mereka semua hanya mempunyai satu roh [weruakh]”.

Jiwa—Makhluk
Hidup. Sebagaimana telah dinyatakan, manusia ”menjadi jiwa yang hidup”; dengan demikian, manusia adalah jiwa, ia tidak memiliki jiwa dalam arti sesuatu yang nonmateri, tidak kelihatan, dan tidak nyata yang diam di dalam dirinya. Rasul Paulus memperlihatkan bahwa ajaran Kristen tidak berbeda dengan ajaran Ibrani sebelumnya, sebab ia mengutip Kejadian 2:7 sewaktu mengatakan, ”Bahkan ada tertulis begini, ’Manusia pertama, Adam, menjadi jiwa yang hidup [psy·khen

zosan].’ . . . Manusia pertama berasal dari bumi dan terbuat dari debu.”—1Kor 15:45-47.

Kisah dalam buku Kejadian memperlihatkan bahwa jiwa yang hidup adalah hasil dari kombinasi tubuh jasmani dengan napas kehidupan. Ungkapan ”napas dan daya kehidupan [harfiah, napas dan roh, atau napas dan tenaga aktif (ru

akh), kehidupan]” (Kej 7:22) menunjukkan bahwa dengan menghirup udara (dan oksigen-nya), daya kehidupan atau ”roh” dalam segala makhluk, manusia dan binatang, terpelihara. Daya kehidupan ini terdapat dalam setiap sel tubuh makhluk hidup, sebagaimana dibahas dalam artikel HIDUP, KEHIDUPAN; ROH.

Karena kata ne

fes memaksudkan makhluk itu sendiri, kita pasti mengharapkan adanya fungsi fisik yang normal atau karakteristik makhluk bertubuh jasmani yang dikaitkan dengan kata itu. Memang demikianlah halnya. Nefes (jiwa) dikatakan makan daging, lemak, darah, atau hal-hal jasmani serupa (Im 7:18, 20, 25, 27; 17:10, 12, 15; Ul 23:24); lapar atau sangat menginginkan makanan dan minuman (Ul 12:15, 20, 21; Mz 107:9; Ams 19:15; 27:7; Yes 29:8; 32:6; Mi 7:1); dibuat gemuk (Ams 11:25); berpuasa (Mz 35:13); menyentuh hal-hal yang najis, seperti bangkai atau mayat (Im 5:2; 7:21; 17:15; 22:6; Bil 19:13); ’dirampas untuk dijadikan jaminan’ atau ’diculik’ (Ul 24:6, 7); melakukan pekerjaan (Im 23:30); sewaktu lelah, disegarkan oleh air dingin (Ams 25:25); dibeli (Im 22:11; Yeh 27:13); dipersembahkan sewaktu membuat ikrar (Im 27:2); dimasukkan ke dalam besi (Mz 105:18); tidak dapat tidur (Mz 119:28); dan berjuang untuk dapat bernapas (Yer 15:9).

Patut diperhatikan bahwa dalam banyak ayat terdapat kata-kata seperti ”jiwaku”, ”jiwanya”, ”jiwamu”, dan lain-lain, karena ne

fes dan psy·khe dapat memaksudkan orang itu sendiri sebagai suatu jiwa. Jadi, sering kali makna kata itu dapat dinyatakan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan kata ganti orang. Sesuai dengan itu, Lexicon in Veteris Testamenti Libros (hlm. 627) memperlihatkan bahwa ”nefes-ku berarti ”aku” (Kej 27:4, 25; Yes 1:14); ”nefes-mu berarti ”engkau” (Kej 27:19, 31; Yes 43:4; 51:23); ”nefes-nya berarti ”dia, dirinya sendiri” (Bil 30:2; Yes 53:10; Bil 30:5-12), dan lain-lain.

Kata Yunani psy·khe

digunakan dengan cara serupa. Vine’s Expository Dictionary of Old and New Testament Words (1981, Jil. 4, hlm. 54) mengatakan bahwa kata itu bisa digunakan sebagai ”padanan kata ganti orang, yang digunakan untuk penandasan dan efek:—orang pertama, Yohanes 10:24 (’kami’); Ibr. 10:38; bdk. Kej. 12:13; Bil. 23:10; Yud. 16:30; Mz. 120:2 (’aku’); orang kedua, 2 Kor. 12:15; Ibr. 13:17”, dan lain-lain.

Menggambarkan

kehidupan sebagai makhluk. Ne

fes maupun psy·khe juga digunakan untuk memaksudkan kehidupan—bukan hanya sebagai kekuatan atau prinsip yang abstrak—melainkan kehidupan sebagai suatu makhluk, manusia atau binatang.

Jadi, pada waktu Rakhel melahirkan Benyamin, ne

fes-nya (”jiwa”, atau kehidupannya sebagai makhluk) keluar dari dirinya dan ia mati. (Kej 35:16-19) Ia bukan lagi makhluk hidup. Demikian pula, sewaktu nabi Elia melakukan mukjizat sehubungan dengan kematian putra janda dari Zarefat, nefes (”jiwa”, atau kehidupan sebagai makhluk) anak itu kembali kepadanya dan ”ia hidup”, dan sekali lagi ia menjadi makhluk hidup.—1Raj 17:17-23.

Karena kehidupan suatu makhluk selalu erat kaitannya dengan dan bergantung pada darah (darah yang dicurahkan berarti kehidupan orang atau makhluk itu [Kej 4:10; 2Raj 9:26; Mz 9:12; Yes 26:21]), Alkitab mengatakan bahwa ne

fes (jiwa) ada ”di dalam darahnya”. (Kej 9:4; Im 17:11, 14; Ul 12:23) Hal itu tentu tidak dapat diartikan secara harfiah, karena Tulisan-Tulisan Kudus juga berbicara tentang ”darah dari jiwamu” (Kej 9:5; bdk. Yer 2:34) dan dalam banyak kasus yang telah dibahas, tidak masuk akal jika kata itu hanya diterapkan pada darah atau sifat-sifatnya yang mendukung kehidupan.

Ne

fes
(jiwa) tidak digunakan sehubungan dengan penciptaan tumbuh-tumbuhan pada ”hari” ketiga penciptaan (Kej 1:11-13) atau setelahnya, karena tumbuh-tumbuhan tidak mengandung darah.

Contoh-contoh penggunaan kata Yunani psy·khe

yang berarti ”kehidupan sebagai makhluk” terdapat di Matius 6:25; 10:39; 16:25, 26; Lukas 12:20; Yohanes 10:11, 15; 13:37, 38; 15:13; Kisah 20:10. Karena para hamba Allah memiliki harapan kebangkitan apabila mereka mati, mereka memiliki harapan untuk hidup kembali sebagai ”jiwa”, atau makhluk hidup. Untuk alasan itu Yesus dapat mengatakan bahwa ”barang siapa kehilangan jiwanya [kehidupannya sebagai makhluk hidup] demi aku dan kabar baik akan menyelamatkannya. Sesungguhnya, apa manfaatnya bagi seseorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan jiwanya? Apa sesungguhnya yang akan diberikan seseorang sebagai penukar jiwanya?” (Mrk 8:35-37) Demikian pula, ia menyatakan, ”Ia yang mencintai jiwanya membinasakannya, tetapi ia yang membenci jiwanya dalam dunia ini akan melindunginya untuk kehidupan abadi.” (Yoh 12:25) Ayat-ayat ini, juga ayat-ayat lain yang serupa, memperlihatkan bagaimana kata-kata Yesus di Matius 10:28 harus dipahami, ”Jangan menjadi takut kepada mereka yang membunuh tubuh tetapi tidak dapat membunuh jiwa; tetapi sebaliknya takutlah kepada dia yang dapat membinasakan baik jiwa maupun tubuh dalam Gehena.” Manusia memang dapat membunuh tubuh, tetapi mereka tidak dapat membunuh orangnya untuk selamanya, karena ia tetap hidup dalam maksud-tujuan Allah (bdk. Luk 20:37, 38) dan Allah dapat dan akan membuat orang yang setia itu hidup kembali sebagai makhluk hidup melalui kebangkitan. Bagi para hamba Allah, kehilangan ”jiwa” mereka, atau kehidupan sebagai suatu makhluk, hanyalah bersifat sementara, tidak permanen.—Bdk. Pny 12:11.

Berkematian

dan dapat dibinasakan. Sebaliknya, Matius 10:28 menyatakan bahwa Allah ”dapat membinasakan baik jiwa [psy·khen

] maupun tubuh dalam Gehena”. Pernyataan ini memperlihatkan bahwa psy·khe tidak memaksudkan sesuatu yang tak berkematian atau tidak dapat dibinasakan. Sebenarnya, dalam seluruh Tulisan-Tulisan Kudus, Ibrani dan Yunani, kata-kata nefes atau psy·khe tidak pernah diberi kata sifat berupa istilah dan ungkapan seperti tidak berkematian, tidak dapat dibinasakan, tidak dapat musnah, atau sejenisnya. (Lihat KETIDAKFANAAN; PERI TIDAK BERKEMATIAN.) Sebaliknya, ada banyak sekali ayat dalam Kitab-Kitab Ibrani dan Yunani yang menyebutkan bahwa nefes atau psy·khe (jiwa) berkematian dan bisa mati (Kej 19:19, 20; Bil 23:10; Yos 2:13, 14; Hak 5:18; 16:16, 30; 1Raj 20:31, 32; Mz 22:29; Yeh 18:4, 20; Mat 2:20; 26:38; Mrk 3:4; Ibr 10:39; Yak 5:20); mati, karena ”dimusnahkan” atau dibinasakan (Kej 17:14; Kel 12:15; Im 7:20; 23:29; Yos 10:28-39; Mz 78:50; Yeh 13:19; 22:27; Kis 3:23; Pny 8:9; 16:3), baik dengan pedang (Yos 10:37; Yeh 33:6) atau mati lemas (Ayb 7:15), atau berada dalam bahaya mati tenggelam (Yun 2:5); dan juga turun ke dalam lubang kubur atau ke Syeol (Ayb 33:22; Mz 89:48) atau diselamatkan dari sana (Mz 16:10; 30:3; 49:15; Ams 23:14).

Jiwa

yang sudah mati. Ungkapan ”jiwa yang sudah mati” juga muncul beberapa kali, yang sekadar memaksudkan ”orang mati”.—Im 19:28; 21:1, 11; 22:4; Bil 5:2; 6:6; Hag 2:13; bdk. Bil 19:11, 13.

Hasrat.

Adakalanya kata ne

fes digunakan untuk memaksudkan hasrat seseorang, hasrat yang memenuhi dia dan kemudian mengendalikan dia dalam mencapai tujuan hasrat itu. Sebagai contoh, Amsal 13:2 menyebutkan tentang orang-orang yang bertindak dengan curang, bahwa ’jiwa mereka adalah kekerasan’, yang berarti bahwa mereka mengerahkan diri habis-habisan demi kekerasan, dan seolah-olah, menjadi personifikasi kekerasan. (Bdk. Kej 34:3, Rbi8, ctk.; Mz 27:12; 35:25; 41:2.) Para gembala palsu Israel disebut ”anjing–anjing yang kuat hasrat jiwanya”, yang tidak mengenal kepuasan.—Yes 56:11, 12; bdk. Ams 23:1-3; Hab 2:5.

Melayani
dengan Segenap Jiwa. Kata ”jiwa” pada dasarnya berarti orang itu seutuhnya, sebagaimana diperlihatkan di atas. Namun, di ayat-ayat tertentu kita dinasihati untuk mencari, mengasihi, dan melayani Allah dengan ’segenap hati kita dan segenap jiwa kita’ (Ul 4:29; 11:13, 18), sedangkan Ulangan 6:5 mengatakan, ”Engkau harus mengasihi Yehuwa, Allahmu, dengan segenap hatimu dan segenap jiwamu dan segenap tenaga hidupmu.” Yesus mengatakan bahwa seseorang perlu melayani dengan segenap jiwa dan kekuatan dan, selain itu, ”dengan segenap pikiranmu”. (Mrk 12:30; Luk 10:27) Pertanyaan timbul tentang mengapa hal-hal lain ini disebutkan bersama jiwa, sedangkan jiwa sudah mencakup semuanya. Untuk mengilustrasikan kemungkinan artinya: Seseorang bisa jadi menjual dirinya (jiwanya) sebagai budak orang lain, dengan demikian menjadi milik tuannya. Namun, mungkin ia tidak melayani tuannya dengan segenap hati, dengan motivasi dan hasrat penuh untuk menyenangkan dia, dan karena itu ia mungkin tidak menggunakan seluruh kekuatannya atau seluruh kesanggupan mentalnya untuk memajukan kepentingan tuannya. (Bdk. Ef 6:5; Kol 3:22.) Jadi, aspek-aspek lain itu disebutkan agar perhatian kita terpusat pada hal-hal tersebut sehingga kita tidak akan lupa dan akan memperhatikannya dalam pelayanan kita kepada Allah, yang menjadi pemilik kita, dan kepada Putra-Nya, yang kehidupannya telah menjadi tebusan untuk membeli kita. Dinas yang ”sepenuh jiwa” kepada Allah melibatkan seseorang seutuhnya, tidak ada bagian, fungsi, kesanggupan, atau hasrat tubuh yang tidak digunakan.—Bdk. Mat 5:28-30; Luk 21:34-36; Ef 6:6-9; Flp 3:19; Kol 3:23, 24.

Jiwa
dan Roh Tidak Sama. ”Roh” (Ibr., ru

akh; Yn., pneuma) hendaknya tidak dikacaukan dengan ”jiwa” (Ibr., nefes; Yn., psy·khe), sebab kedua-duanya tidak sama. Oleh karena itu, Ibrani 4:12 menyebutkan tentang Firman Allah yang dapat ”menusuk bahkan sampai memisahkan jiwa dan roh, serta sendi dan sumsumnya”. (Bdk. juga Flp 1:27; 1Tes 5:23.) Sebagaimana sudah dibahas, jiwa (nefes; psy·khe) adalah makhluk itu sendiri. Roh (ruakh; pneuma) pada umumnya memaksudkan daya kehidupan suatu makhluk hidup atau jiwa, sekalipun dalam bahasa aslinya istilah-istilah tersebut mungkin juga mempunyai arti-arti lain.

Untuk mengilustrasikan lebih lanjut perbedaan antara kata Yunani psy·khe

dan pneuma, dalam suratnya yang pertama kepada orang-orang Korintus rasul Paulus membahas tentang kebangkitan orang-orang Kristen kepada kehidupan roh. Di situ ia mengontraskan ’yang jasmani [psy·khi·kon, harfiah, berkaitan dengan jiwa]’ dengan ”yang rohani [pneu·ma·ti·kon]”. Dengan demikian, ia memperlihatkan bahwa hingga saat kematian mereka, orang-orang Kristen memiliki tubuh yang ”berkaitan dengan jiwa”, seperti halnya dengan manusia pertama, Adam; sedangkan pada waktu kebangkitan mereka, orang-orang Kristen yang terurap menerima tubuh rohani seperti yang dimiliki Yesus Kristus yang telah dimuliakan. (1Kor 15:42-49) Yudas membuat perbandingan serupa sewaktu membahas tentang ”orang-orang yang seperti binatang [psy·khi·koi, harfiah, (orang-orang) yang berkaitan dengan jiwa], tidak memiliki kerohanian [harfiah, tidak memiliki roh (pneuma)]”.—Yud 19.

Allah
Memiliki Jiwa. Mengingat apa yang dibahas sebelumnya, kelihatannya ayat-ayat yang di dalamnya Allah menggunakan kata ”jiwaku” (Im 26:11, 30; Mz 24:4; Yes 42:1) merupakan contoh lain penggunaan antropomorfis, yaitu menerapkan kepada Allah karakteristik fisik dan manusiawi untuk membuat pendengar lebih mengerti, sebagaimana Allah dikatakan mempunyai mata, tangan, dan sebagainya. Dengan mengatakan ’ne

fes-Ku’, jelaslah Yehuwa memaksudkan ”diri-Ku” atau ”pribadi-Ku”. ”Allah adalah Roh [Pneuma].”—Yoh 4:24; lihat YEHUWA (Uraian tentang hadirat-Nya).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar